
PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN SEBELUM DAN SESUDAH TERBIT UUCK SEKTOR KEHUTANAN 2020
POLICY PAPER
PENYELESAIAN PENGUASA
AN TANAH
DALAM KAWASAN HUTAN SEBELUM DAN SESUDAH TERBIT UUCK SEKTOR KEHUTANAN TAHUN 2020
DIAJUKAN SEBAGAI SYARAT UNTUK NAIK JENJANG PERENCANA MADYA
OLEH
WAODE ABI, S.Hut, MM
DINAS KEHUTANAN PROV. SULSEL
MAKASSAR
2021
Halaman Pengesahan
POLICY PAPER
PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH
DALAM KAWASAN HUTAN SEBELUM DAN SEDUDAH TERBIT UUCK SEKTOR KEHUTANAN TAHUN 2020
DIAJUKAN SEBAGAI SYARAT UNTUK NAIK JENJANG PERENCANA MADYA
OLEH
WAODE ABI, S.Hut, MM
MENGETAHUI :
KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI SULAWESI SELATAN,
Ir.H. ANDI PERENRENGI, MP
NIP.19631231 199703 1 020
MAKASSAR, JULI 2021
DAFTAR ISI
PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN SEBELUM DAN SESUDAH TERBIT UUCK SEKTOR KEHUTANAN TAHUN 2020
A. | PENDAHULUAN ........................................................................................... | 1
|
B. | PERPRES PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN No.88 TAHUN 2017 ........................................................................ |
1
|
C. | TITIK KRITIS PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN ...................................................................................... |
4
|
D. | PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI TURUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA SEKTOR KEHUTANAN TERKAIT PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN …………………………………………………….. |
7
|
E. | PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU SOLUSI PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN ……………………………………………………. |
8 |
F. | KESIMPULAN…………………………………………………………………….. | 9
|
DAFTAR PUSTAKA
PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH
DALAM KAWASAN HUTAN SEBELUM DAN SESUDAH TERBIT UUCK SEKTOR KEHUTANAN TAHUN 2020
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan
Jl. Bajiminasa No. 14 Makassar, Sulawesi Selatan, 90216
Telp. (0411) 873181 Fax (0411) 873182
Email : waodeabi@gmail.com
A. PENDAHULUAN
Kawasan hutan adalah istilah yang dikenal dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu menurut pasal 3 yang berbunyi:
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.
Definisi menurut Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, 9 Februari 2012, memutuskan bahwa :
- Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) 'bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan [[Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang[[ Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.“
Dari putusan MK tersebut definisi kawasan hutan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah: “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.
Dalam perjalanannya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia maka kebutuhan masyarakat akan lahan sebagai tempat tinggal maupun tempat berusaha seperti bercocok tanam semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya aktivitas penyerobotan ataupun penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Oleh karena itu pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah solusi dalan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dengan menerbitkan regulasi terkait hal tersebut.
B. PERPRES PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN No.88 TAHUN 2017
Dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan, maka pemerintah memandang perlu dilakukan kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Ditegaskan dalam Perpres ini, Pemerintah melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh Pihak. Kawasan hutan sebagaimana dimaksud merupakan kawasan hutan pada tahap penunjukan kawasan hutan, yang meliputi kawasan hutan dengan fungsi pokok: a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, menurut Perpres ini, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: a. mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan; b. tukar menukar kawasan hutan; c. memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau d. melakukan resettlement,” bunyi Pasal 8 ayat (2) ayat (1) Perpres ini.
Pola penyelesaian sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, memperhitungkan: a. luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan b. fungsi pokok kawasan hutan.
Adapun pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi , menurut Perpres ini, dilakukan melalui resettlement atau pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan.
Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi adalah:
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, menurut Perpres ini, dilakukan dengan:
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resetlement;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriiteria sebagai hutan lindung dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial
Perubahan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres tersebut.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, menurut Perpres ini: a. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau resetllement; b. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi:
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
- dalam hal bidang tanah tersebut digunalan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Perubahan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres ini.
Dalam rangka penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, disusun Rencana Aksi penyelesaian penguasaan tanath dalam kawasan hutan. Rencana aksi sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut Tim Percepatan PPTKH.
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 11 September 2017.
C. TITIK KRITIS PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN
Peraturan Presiden (PERPRES) No.88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) telah terbit pada 6 September 2017 lalu. Suatu kebijakan yang sangat dinantikan banyak pihak, terutama yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, sambil berharap persoalan yang sudah menahun itu dapat diselesaikan.
Penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PTKH) pada dasarnya suatu bentuk “ketelanjuran” yang bertambah luas dari waktu ke waktu. Volume pekerjaan yang akan diselesaikan juga meliputi areal yang sangat luas. Hasil analisis dari berbagai peta tematik oleh Fakultas Kehutanan, IPB (2017) menunjukkan PTKH tersebut sekitar 17,4 juta hektare (Ha). Keberadaannya di dalam hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi, termasuk di lokasi-lokasi izin perusahaan hutan, tambang maupun kebun. Salah satu penyebab sulitnya penyelesaian persoalan tersebut adalah tidak adanya jembatan pelaksanaan regulasi antara pertanahan dan kehutanan.
Pola Penyelesaian
Dalam PERPRES ini, pihak yang telah menguasai dan memanfaatkan tanah dalam kawasan hutan yaitu perorangan, instansi pemerintah dan pemerintah daerah, badan sosial/keagamaan, serta masyarakat hukum adat (Pasal 6). Adapun jenis pemanfaatannya berupa pemukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, lahan garapan dan/atau hutan yang dikelola masyarakat hukum adat (Pasal 5).
Pola penyelesaiannya dibedakan berdasarkan waktu mulainya PTKH tersebut, apakah sebelum atau sesudah ditunjuk sebagai kawasan hutan. Demikian pula dibedakan menurut luas kawasan hutan yang harus dipertahankan menurut Undang-undang Kehutanan, yaitu sama atau lebih 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi. Juga harus memperhatikan fungsi pokok kawasan hutan, yaitu hutan konservasi, lindung dan produksi (Pasal 8). Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016) menunjukkan terdapat delapan provinsi dengan kawasan hutannya kurang dari 30%, yaitu Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.
Apabila lokasi penguasaan dan pemanfataan dan/atau hak diperoleh sebelum kawasan hutan ditunjuk, maka dengan tanpa memperhatikan semua kriteria di atas, pola penyelesaiannya sama, yaitu tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dikeluarkan dari kawasan hutan (Pasal 7). Namun, apabila waktu dimulainya PTKH setelah kawasan hutan ditunjuk, pola penyelesaiannya ada empat alternatif, yaitu: dikeluarkan dari kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, diberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial atau dipindahkan (resettlement)(Pasal 8). Pilihan empat alternatif itu dilakukan juga mempertimbangkan 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan tersebut di atas.
PERPRES tersebut secara tegas melindungi hutan konservasi. Terhadap hutan konservasi, apapun kondisinya, semua jenis penguasaan dan pemanfaatan tanah diselesaikan dengan pola resettlement (Pasal 9). Adapun dalam hutan lindung dan hutan produksi, pola penyelesaiannya ditentukan oleh jenis pemanfaatan, luas kawasan hutan lebih atau kurang 30%, serta lama penguasaan lahan lebih atau kurang dari 20 tahun.
Jenis pemanfaatan lahan yang berupa lahan garapan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi diselesaikan dengan perhutanan sosial apabila luas kawasan hutan kurang dari 30%. Tetapi di lokasi ini, apabila jenis pemanfaatannya berupa pemukiman dan fasilitas sosial, harus dilakukan resettlement.
Untuk provinsi dengan luas kawasan hutan lebih dari 30%—yaitu semua provinsi di Indonesia kecuali delapan provinsi di atas, lahan garapan dapat dikeluarkan dari kawasan hutan lindung dan produksi apabila penguasaannya lebih dari 20 tahun. Apabila kurang dari 20 tahun, pola solusinya menggunakan perhutanan sosial. Dengan catatan lahan garapan yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan tersebut masuk kedalam lokasi sumber tanah obyek reforma agraria (peta TORA) dari kawasan hutan (Pasal 11 dan Pasal 13).
Pelaksanaan
Di Pusat akan terdapat Tim Percepatan PPTKH (Pasal 14) yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 17) dan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Anggotanya terdiri dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Dalam negeri, Sekretaris Kabinet dan Kepala Staf Kepresidenan. Juga terdapat Tim Pelaksana yang diketuai Deputi Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan anggota Direktur Jenderal dari kementerian terkait.
Kegiatan yang berupa inventarisasi dan verifikasi di lapangan dilakukan oleh Tim Inventarisasi dan Verifikasi PTKH (Pasal 18), yang dibentuk oleh Gubernur dan diketuai oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. Tim ini akan melakukan inventarisasi dan verifikasi yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui Bupati/Walikota (Pasal 21), dan dilaksanakan sekali saja di setiap wilayah administrasi kabupaten/kota tersebut. Biaya tukar menukar atau resettlement apabila dilakukan, ditanggung oleh pemerintah daerah (Pasal 25). Seluruh pelaksanaannya akan dipandu melalui rencana aksi nasional yang akan disusun oleh Tim Percepatan PPTKH (Pasal 32).
Titik Kritis Implementasi
PERPRES ini bukan hanya diharapkan mampu mengkoordinasi perbedaan kepentingan antar sektor dan daerah, tetapi juga diharapkan mampu memberi jalan keluar terhadap kebuntuan persoalan penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PTKH) di lapangan yang sudah menahun. Untuk itu terdapat beberapa catatan berikut.
Pertama, pola penyelesaian PTKH perlu lebih memahami fakta di lapangan. Misalnya, keberadaan PTKH di dalam kawasan konservasi yang secara sosial-politik sulit dipindahkan. Sementara dalam PERPRES ini PTKH di kawasan konservasi yang terjadi setelah kawasan hutan ditunjuk, pola penyelesaian di kawasan konservasi hanya dengan cara dipindahkan (resettlement).
Sedangkan untuk penguasaan yang telah berlangsung sebelum kawasan hutan ditunjuk, hanya terdapat pola penyelesaian berupa dikeluarkan dari kawasan hutan. Pemikiran konservastif tersebut penting, namun hutan konservasi juga banyak yang sudah tidak memiliki fungsinya dan bersifat tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible). Pola penyelesaian yang tidak layak dilakukan biasanya akan berakhir dengan pembiaran.
Kedua, ketentuan dengan mempertimbangkan batasan luas kawasan hutan sama atau lebih besar 30% di atas memang perlu diterapkan, tetapi diperlukan opsi-opsi yang lebih fungsional untuk memecahkan masalah nyata di lapangan. Misalnya, untuk lokasi-lokasi di Jawa, Bali dan Lampung dengan luas kawasan hutan kurang dari 30%, penguasaan dan pemanfaatan tanah tidak senantiasa bisa dilakukan dengan resettlement, karena keterbatasan tanah yang tersedia dan mahal. Untuk itu redesain pemanfaatan lahan mestinya dapat dijalankan, misalnya dengan kombinasi tanaman pertanian dan kehutanan melalui perhutanan sosial. Serupa dengan sebelumnya, tanpa ada opsi fungsional seperti itu, pola penyelesaian yang tidak layak biasanya akan berakhir dengan pembiaran.
Ketiga, untuk PTKH di lokasi yang telah dimanfaatkan sebagai areal usaha kehutanan, pertambangan maupun perkebunan, tidak secara eksplisit disebutkan dalam PERPRES. Fakta di lapangan sangat banyak lokasi izin (legal atau illegal) terdapat PTKH. Keberadaan hutan dan masyarakat hukum adat juga dikecualikan dari proses penyelesaiannya. Walaupun sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur hutan dan masyarakat adat, masih sangat perlu percepatan dalam pelaksanaannya.
Keempat, PERPRES ini menggunakan kriteria “ditunjuk” (fase awal) dan bukan kriteria “ditetapkan” (fase akhir) sebagai alas hak legal hutan negara melalui proses pengukuhan kawasan hutan. Mengingat desain legalitas pengukuhan kawasan hutan saat ini tidak menyelesaikan seluruh klaim tanah di kawasan hutan yang ada, maka PERPRES ini dapat menjadi instrumen resolusi konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan tersebut. Namun, PERPRES ini tidak menyebut perbaikan regulasi sebagai konsekuensi pelaksanaanya, khususnya dalam hal ini perbaikan peraturan pengukuhan kawasan hutan. Ataupun integrasi dengan program perhutanan sosial.
Kelima, PTKH sangat luas dan dalam pelaksanaan inventarisasi dan verifikasi perlu proses cermat, serta perlu pendamping atau mediator dengan kemampuan mencapai kesepakatan pola penyelesaian yang akan dilaksanakan. Untuk pelaksanaan pola resettlement juga diperlukan biaya mahal. Sementara itu dalam PERPRES ini, sumber daya manusia dan kebutuhan biayanya ditanggung oleh pemerintah daerah yang biasanya tidak mudah dipenuhi. Maka, dalam pelaksanaannya perlu ada desain partisipasi dan keterbukaan proses, untuk menggalang sumber daya yang diperlukan.
Keenam, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanannya juga perlu dijalankan. Karena dalam banyak kasus, terjadinya PTKH bukan atas dasar motif subsisten, tetapi terkait dengan modal besar yang didukung kekuatan ekonomi maupun politik. Pemerintah dan pemerintah daerah seringkali tidak berdaya bukan saja akibat persoalan kapasitas, tetapi dapat menjadi bagian dari kepentingan PTKH itu sendiri. Maka, pelaksanaan kebijakan ini juga rentan terjadi kesalahan penetapan subyek utama (intended beneficiaries) yang semestinya menerima manfaat. Untuk iti perlu pula disiapkan teknologi online sebagai sistem perencanaan dan evaluasi pertanahan-kawasan hutan nasional.
Ketujuh, ketika tanah tidak pernah bertambah luas dan sebaliknya manusia terus bertambah, percepatan PTKH hendaknya ditujukan pula untuk pencegahan terjadinya PTKH. Dalam hal ini dengan memastikan luas dan lokasi hutan tetap serta penguatan pengelolaan hutan di tingkat tapak secara nasional, seperti yang disebut dalam Undang-undang Kehutanan.
Beberapa catatan di atas diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Tim Percepatan PTKH dalam menjabarkan pelaksanaan PERPRES. Fakta lapangan harus menjadi perhatian agar kebijakan ini bisa operasional
D. PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI TURUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA SEKTOR KEHUTANAN TERKAIT PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyelenggarakan Sosialisasi tiga Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Tiga PP yang disosialialisasikan, yaitu: (1) PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (2) PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan; dan (3) PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Sehubungan dengan telah terbitnya peraturan tersebut diatas maka terkait penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan mengacu kepada PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan sehingga dengan demikian Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan menjadi tidak berlaku lagi.
PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagaimana disampaikan tersebut diatas mengatur mengenai Perencanaan Kehutanan; Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; Penggunaan Kawasan Hutan; Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; Pengelolaan Perhutanan Sosial; Perlindungan Hutan; Pengawasan; dan Sanksi Administratif.
Dalam PP tersebut yang dimaksud dengan Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap sehingga dengan demikian maka keberadaan kawasan hutan yang ada dalam negara Kesatuan Republik Indonesia telah melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan sesuai peraturan perundangan yang berlaku sampai dengan penetapannya sebagai Kawasan Hutan. Adapun tahapan penataan batas kawasan hutan sebagaimana pada pasal 19 ayat 2 dapat diurai sebagai berikut :
a. penyusunan rencana Trayek Batas yang memuat koordinat titik-titik batas yang akan dilakukan pemancangan patok batas sementara dan/atau koordinat yang ditetapkan secara virtual hasil pembahasan panitia tata batas; b. pemancangan patok batas sementara; c. pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara; d. inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang Trayek Batas Kawasan Hutan; e. penyusunan berita acara pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara; f. pemasangan pal batas; g. pemetaan hasil penataan batas; h. pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan i. pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. (3) Penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat(2\huruf d yang berada di dalam Kawasan Hutan diselesaikan melalui Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan.
Selanjutnya pada Pasal 22 ayat (1) Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas: a. berita acara tata batas Kawasan Hutan; dan b. peta tata batas Kawasan Hutan yang telah temu gelang. (21 Dalam hal tata batas Kawasan Hutan telah temu gelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b namun masih terdapat hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, Kawasan Hutan ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak pihak ketiga yang ada di dalamnya.
Penyelesaian penguasaan tanah dalam Kawasan Hutan Negara dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan melalui kegiatan (Pasal 23) :
a. pengadaan tanah obyek reforma agraria; b. pengelolaan Perhutanan Sosial; c. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; dan/atau d. Penggunaan Kawasan Hutan.
Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib memenuhi kriteria: a. penguasaan tanah di dalam Kawasan Hutan Negara oleh Masyarakat dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; b. dikuasai paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus; c. dikuasai oleh Perseorangan dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar; d. bidang tanah telah dikuasai secara fisik dengan iktikad baik secara terbuka; dan e. bidang tanah yang tidak bersengketa.
Pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Dimana Program Perhutanan Sosial sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Program Perhutanan Sosial akan membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Melalui Perhutanan Sosial, masyarakat dapat memiliki akses kelola hutan dan lahan yang setara dan seluas-luasnya. Dan dengan bentuk pemanfaatan hasil hutan yang sesuai prinsip kelestarian yang ramah lingkungan maka tujuan konservasi lingungan dapatsejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tambahan manfaat lainnya adalah pelibatan masyarakt setempat sebagai pihak utama dan terdekat yang menjaga kelestarian hutan.
E. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU SOLUSI PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN
Kebijakan kehutanan saat ini memberikan peluang nyata untuk dapat ikut mengelola hutan/mendapatkan manfaat hutan bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan memberikan hak akses kepada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pengelolaan hutan. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.13/Menhut-II/2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan pemerintah memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut mengelolah lahan kawasan. Dan penjabaran lebih lanjut terkait Perhutanan Sosial PASCA Undang – undang Cipta Kerja telah diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Program ini bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme pemberdayaan dan tetap berpedoman pada aspek kelestarian hutan. Program tersebut sangat memberi kesempatan besar bagi masyarakat desa hutan.
Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga Negara Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan negara, memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan, danaktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Presiden Indonesia Joko Widodo, menjelaskan bahwa sasaran dari program perhutanan sosial adalah untuk masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dan tergantung pada pemanfaatan sumber daya hutan dan kelestarian hutan, masyarakat yang berlahan sempit atau tidak memiliki lahan serta masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Contoh dari pelaku program Perhutanan Sosial ini yaitu Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD)/Lembaga Adat, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Masyarakat Hukum Adat, Kelompok Tani, dan Gabungan Kelompok Tani, dan lain-lain.
Perhutanan Sosial dapat dibagi menjadi 5 skema, yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.Kelima skema tersebut memiliki sistem pengelolaan yang berbeda namun intinya masih sama yaitu untuk mencapai kesejahteraan.
1. Hutan Desa merupakan hutan negara yang dikelolaoleh lembaga desa untuk mensejahterakan desa.
2. Hutan kemasyarakatan merupakan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat untuk tujuan memberdayakan masyarakat.
3. Hutan Tanaman Rakyat merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur.
4. Hutan Adat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya merupakan hutan negara ataupun bukan hutan negara.
5. Kemitraan Kehutanan merupakan kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan,pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.
F. KESIMPULAN
1. Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan sebelum terbitnya UUCK tahun 2020 mengacu pada Perpres 88 Tahun 2017 sedangkan setelah terbit UUCK sektor kehutanan sesuai PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
2. Skema Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan sesuai Perpres 88 Tahun 2017 yakni melalui tahapan penunjukkan Kawasan Hutan. Selanjutnya pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: a. mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan; b. tukar menukar kawasan hutan; c. memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau d. melakukan resettlement,” bunyi Pasal 8 ayat (2) ayat (1).
3. Skema Penyelesaian penguasaan tanah dalam Kawasan Hutan Negara pada PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan melalui kegiatan: a. pengadaan tanah obyek reforma agraria; b. pengelolaan Perhutanan Sosial; c. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; dan/atau d. Penggunaan Kawasan Hutan.
4. Pola penyelesaian sebagaimana dimaksud, menurut Perpres 88 Tahun 2017 (sebelum terbit UUCK) masih memperhitungkan: a. luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan b. fungsi pokok kawasan hutan sedangkan pada PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sudah tidak mencantumkan terkait prosentase terhadap luasan Kawasan hutan yang akan dipertahankan.
5. Pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia. (2021). Kawasan Hutan. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kawasan_hutan, tanggal 1 Juni 2021
Anonim. Diakses dari https://setkab.go.id/presiden-jokowi-teken-perpres-penyelesaian-penguasaan-tanah-dalam-kawasan-hutan/ tanggal 1 Juni 2021
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan, IPB. Dalam artikel yang diakses dari http://agroindonesia.co.id/2017/10/titik-kritis-penyelesaian-penguasaan-tanah-dalam-kawasan-hutan/ tanggal 1 Juni 2021
Pemerintah Indonesia.2017. Peraturan Presiden (PERPRES) No.88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
Pemerintah Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
Pemerintah Indonesia. 2021. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial